Saputangan Hijau Kelam

by - Juli 17, 2011





Mengulas, membuka kembali folder yg mulai usang,,,

Diterbitkan, di Media Kalimantan, 16 Januari 2011

,

,
****

Gemericik air terdengar begitu merdu. Suaranya bagaikan alunan musik yang mengalun indah. Airnya begitu dingin. Udara yang masih bersih, dedaunan yang rindang membuat hati terasa sejuk. Ingin rasanya terus berlama-lama disini. Tapi, waktu harus membuatku meninggalkan tempat ini. Kapan aku bisa kembali lagi ke tempat ini.

Di tempat inilah perempuan itu memberikan saputangannya yang berwarna hijau kelam kepadaku. Kini masih terlipat rapi, terselip di antara ruas-ruas buku yang selalu menemaniku bekerja.

Perempuan itu menungguku di sebrang sana. Aku harus pulang. Untuk memenuhi janjiku.
***



Lama sudah aku bermukim di kota ini. Tapi hujan tak kunjung datang jua. Udara  begitu panas. Membuat aku tak ingin berlama-lama berada di luar, tempat aku bekerja.

Aku tak dapat berkutik di mejaku sendiri. Diam, pasrah, dan memandangi lembaran-lembaran yang tak berbicara. Otakku terlalu letih untuk menyelesaikannya. Kutarik laci mejaku, ku ambil sebuah buku hitam yang sudah mulai memudar warnanya dan sampul yang agak mengelupas disisinya.

Ku buka satu persatu lembaran-lembaran yang sudah tua, ku ambil sebuah saputangan berwarna hijau kelam yang terselip di antara ruas-ruas buku. Kubuka perlahan lipitannya yang sangat rapi. Terbit ingatanku dengannya dan saputangan ini.

Sudah saatnya aku pulang, aku harus menemuinya. Ibu pasti tak akan kecewa, jika aku pulang. Dia pasti akan sangat senang dan bahagia. Pastinya Ibu dan Ayah sangat merindukanku dan aku pun demikian.

Mengingat masa lalu, adalah hal yang sangat menyenangkan. Aku dilahirkan dan dibesarkan di sebuah kota yang penuh akan kerajinan tanagn. Desaku cukup jauh dari kota. Orang-orang menyebutnya dengan Desa Candi Laras. Menurut cerita dari orang-orang tua dikampungku, dahulu di desa ini ada peninggalan dari kerajaan Daha yang berbentuk candi. Tapi, kini candi itu sudah tak berwujud lagi. Hanya puing-puing kayu ulin yang tersisa, itu pun sebagian sudah di ambil penduduk untuk dijadikan kayu bakar.

Orang tua ku adalah pengrajin ilung. Memang sudah menajdi tradisi secara turun temurun di desaku menganyam ilung. Hampir semua dari penduduk di kampungku adalah pengrajin ilung. Aku bisa sekolah dan menjadi seperti sekarang ini, berkat ilung-ilung itu.

Hidupku memang tak akan bisa lepas dari ilung. Bahkan aku patut berbangga hati dengan tradisi kampungku. Aku bangga, kampungku di kenal banyak orang karena kerajinannya.

Berawal dari sebuah saputangan yang berwarna hijau kelam, perjumpaanku dengan perempuan itu bermula. Seorang Perempuan yang selalu menyimpan saputangan berwarna hijau kelam, entah itu di dalam sakunya ataupun di dalam tasnya. Saat itu dia duduk dibangku kelas dua SMP. Sedangkan aku, baru masuk di SMA yang ada di Desa Candi Laras. Ayahnya adalah seorang ustadz. Ustadz Murdin namanya, dan mengajar di pesantren di kampungku. Tak jarang, bila salah seorang warga sedang melakukan hajatan, Ustadz Murdin berbagi ilmu dan memberikan siraman rohani kepada tamu yang hadir. Sesekali beliau mengajari para orangtua untuk mengaji ataupun membaca ayat-ayat Al-Quran, walau terbata-bata.

Nuri, nama perempuan itu. Perempuan yang selalu membawa saputangan berwarna hijau kelam di tangannya. Hampir setiap pulang sekolah, aku melihatnya berjalan sendiri melalui petak-petak sawah. Suatu ketika aku mengajaknya berkenalan. Dia tersenyum malu, sambil menyembunyikan gigi gingsulnya yang terlihat manis, jika tertawa.

Sebagai laki-laki yang normal, sesuatu yang wajar jika kita menyukai lawan jenis. Perempuan itu telah membuatku mabuk kepayang. Dia sungguh bersahaja, tutur katanya sopan. Aku sangat senang berkunjung ke rumah nya, kadang dengan alasan ingin mencicipi masakannya. Nuri pintar memasak.

Ini untuk yang pertama kalinya aku pulang ke kampung halamanku setelah hamper lima tahun merantau di ibukota. Sore hari aku telah tiba di desa, setelah melewati jembatan gantung yang membelah sungai. Rumahku tak banyak berubah. Ibu, ayah beserta adikku menyambut kedatanganku penuh suka cita. Ibu segera menyiapkan makan untukku.

Seusai makan, dan bercakap-cakap dengan keluarga, aku bergegas keluar rumah. Berjalan mengitari kampung yang telah lama kutinggalkan. Di benakku sekarang, ingin cepat bertemu dengan perempuan yang pernah memberiku saputangan hijau kelam. Ingin bercerita tentang kehidupanku sekarang dan melepas rindu.

Aku masih ingat rumahnya yang dulu berwarna putih itu. Tapi kini aku melihat beberapa perubahan di desaku. Perubahan yang sangat drastis membuatku tak habis pikir. Sekarang aku bingung, aku ingin melangkah kemana. Aku ingin pergi ke warung Bu Ratna. Namun aku bingung dengan lingkungan sekitar, hampir semuanya jauh berbeda.

Aku melihat sebuah bangunan kecil berwarna putih, kubaca tulisan yang melambai-lambai di depannya. Warung Bu Ratna. Aku bedacak kagum. Dulu sewaktu aku meninggalkan kampung ini, dinding warung hanya terbuat dari bambu dan atapnya dari rumbia. Namun kini telah jauh berbeda. Bangunan itu berdiri tegak, kokoh dengan beton-beton yang berwarna putih.

Ku lihat lagi warung itu.Adatangan-tangan yang melambai dari dalam warung itu. Ku tatap benar-benar, ku percepat langkah ku, ku perjelas ingatan ku mengenai wajah laki-laki yang melambaikan tangannya kepadaku. Bima. Teman ku waktu kecil.

Ku lihat ke dalam warung, seorang perempaun yang sudah bertambah tua namun wajahnya tak pernah hilang dari ingatanku dan juga gurauannya yang masih seperti dulu. Bu Ratna. Aku memesan kopi hangat seperti biasanya. Sambil bergurau dan bercerita, teringatlah aku akan sesuatu. Sesuatu yang tidak mungkin di lupakan. Seorang perempuan yang memberikan saputangannya yang berwarna hijau kelam kepadaku. Saat aku ingin mengadu nasib dikota.

“Bagaimana kabar, Nuri?” tanyaku.

Bima berhenti memainkan anak caturnya yang hampir skak. Dia memandang wajahku, kemudia Ryan, temannya bermain catur. Ryan menepuk pundakku. Perasaanku mengatakan ada sesuatu yang telah terjadi di desa ini.

Bima menyalakan rokoknya, lantas berucap, “Nuri menerima pinangan Dani”.

Mendengar itu, jantungku berdetak kencang. Aku tak percaya. Badanku gemetar, aku tidak mau dia meninggalkanku.

Ryan menceritakan semuanya. Entah mengapa keluarga Ustadz Murdin mau menerima lamaran keluarga Dani. Padahal warga desa dan Ustadz Murdin sendiri tahu bagaimana kelakuan Dani. Sejak dulu, Dani sangatBengal. Dia suka mabuk dan bermain judi. Hanya saja Ayahnya adalah petani yang kaya di kampung.

Para warga mengira Nuri hamil di luar nikah. Ada juga yang mengatakan Ustadz Murdin pernah berhutang kepada keluarga Dani hinggatidak sanggup membayarnya. Semenjak perkawinan Nuri,  keluarga Ustadz Murdin jarang sekali ke luar rumah. Nuri pun kini tidak tinggal di desalagi, dia mengikuti suaminya. Sampai saat ini warga kampung bertanya-tanya apa yang terjadi pada keluarga Ustadz Murdin.

Aku pulang agak cepat. Aku segera masuk ke dalam kamar. Rasa sesak di dadaku semakin terasa. Aku masih ingat, terakhir sebelum keberangkatanku ke kota untuk mengadu nasib. Dia mengajakku, ke tepi danau. Nuri duduk disampingku. Dia memberiku saputangan yang berwana hijau kelam itu. “Besok kau akan pergi. Pasti kau akan melupakanku”

Aku terkejut mendengar pengakuan Nuri “Tidak. Aku tidak akan melupakanmu. Aku akan selalu ingat denganmu” ku tatap wajahnya yang begitu sedih. Sorot matanya yang begitu layu. Aku semakin tidak tega harus meninggalkannya. Aku begitu sayang kepadanya. Perempuan yang semenjak dulu selalu bersama, kini harus berpisah karena suatu keadaan yang mengharuskan kekasihnya untuk pergi.

Nuri menunduk. Menatap air danau yang begitu jernih. Hingga pantulan wajahnya terlihat di dalam air itu. Ia tersenyum dan memberikan saputangan hijau kelam itu kepadaku. “Simpanlah saputangan ini. Agar kau selalu teringat kepadaku”. Senyum itu kembali lagi.

Aku merasa senang, melihat Nuri bisa tersenyum tanpa harus sedih membiarkanku pergi. Ku ambil saputangan itu. “Akan ku simpan baik-baik. Tunggu aku”

Aku segera bangun dari lamunanku akan masa lalu yang begitu menyenangkan, kini harus dibayar dengan kepahitan. Kutatap semua benda yang berada di dalam kamarku. Semuanya tidak berubah. Tetap seperti dulu, sebelum aku meninggalkan desa ini. Ternyata Ayah dan Ibu tidak mengubahnya. Mataku tertuju pada sebuah lemari yang sudah sangat tua, berada di sudut kamar.

Aku membuka lemari itu. Terlihat beberapa pakaianku masih berada di tempatnya. Masih tersusun rapi. Ku cari dimana aku meletakkannya. Sesuatu yang sangat berharga untukku.

Ku buka buku hitam itu. Perlahan ku ambil sebuah kain terlipat rapi. Ku buka perlahan kain itu. NURI, sulaman di kain itu masih terlihat jelas. Saputangan hijau kelam ini ditanganku. Bukan ditangan pemiliknya. Seharusnya jika aku menemukan saputangan ini, aku juga akan bertemu dengan pemiliknya.

Kupandangi saputangan itu. Warnanya sungguh menyedihkan. Aku teringat sesuatu. Dulu sewaktu nenek masih hidup, beliau pernah memberitahuku akan sesuatu hal, “Abdi, jangan pernah sekali-kali kamu memberikan saputangan atau apa saja yang berbentuk kain kepada pasangan kamu, karena pasangan yang memberikan saputangannya pasti akan berpisah”.

Saat itu aku tak menghiraukan nasihat nenek. Aku hanyalah menganggap itu sebuah mitodan dongeng kepada anak-anak yang masih kecil.

You May Also Like

1 comments

Hallooo, terima kasih sudah membaca tulisan saya,
jika berkenan silahkan jejak digital teman disini.
Tinggalkan lah, rekam jejak yang menyenangkan tanpa ada unsur SARA.
Salam Budaya, ^,^

POPULAR POSTS