Pantat Ayam Merah Muda

by - Agustus 01, 2011






Bismillah,,

Cerpen ini d'terbitkan di Habar Poliban, buletin kampus Politeknik Negeri Banjarmasin 8 Juli 2011

..


***

Dulu sewaktu aku masih kecil, Ibu sering bilang jangan pernah memakan pantat ayam yang ada di meja makan. Itu pamali untuk anak yang baru beranjak remaja. Nenek juga mengatakan hal demikian. Entah mengapa sebabnya. Dari mana asalnya larangan tidak boleh memakan pantat ayam.

Saat itu aku masih berusia enam tahun. Aku percaya saja dengan perkataan Nenek. Kata Nenek, hanya orang yang sudah menikah dan sudah tua saja yang boleh memakannya. Karena, mereka-mereka sudah tidak ada pantangannya lagi.

Aku bingung. Kenapa harus tidak boleh. Pertanyaan itu mengalir di benakku. Sebenarnya ada misteri apa di balik pantat ayam yang berwarna merah muda itu.


****

Nenek ku mempunyai enam orang anak. Ibuku termasuk anak yang terakhir dari enam bersaudara. Mungkin karena Ibu anak yang terakhir, makanya Ibu sangat dekat dengan Nenek. Anak-anak Nenek yang lain sudah pergi meninggalkan kampung ini.

Saat aku masih berusia enam tahun, aku senang sekali berlibur di tempat Nenek. Udara di kampung Nenek, begitu menyejukkan. Polusi udara yang masih segar, masih bersih, belum tercemar oleh asap-asap dari kendaraan bermotor, serta pabrik-pabrik. Selain itu, Nenek pintar sekali mendongeng. Hampir setiap malam Aku dan Kak Sesil mendengarkan dongeng-dongeng Nenek. Hingga kami tertidur lelap.

Kakek sangat senang berternak ayam dan bebek. Setiap aku berkunjung ke rumah Nenek, aku paling suka mengunjungi kandang ayam. Aku juga suka memberinya makan. Ada sesuatu yang berbeda saat kita memberinya makan. Jika bisa diibaratkan, ayam itu sejak kecil sudah bisa mencari makanannya sendiri. Kenapa manusia tidak meniru bentuk positif dari prilaku ayam.

Coba kita lihat lebih dalam, sebenarnya dubur ayam itu berwarna merah muda. Kita bisa mempraktekkan dengan mulut yang agak dimonyongkan kemudian, lekukkan pipi keduanya. Maka akan terbentuklah pantat ayam.

Libur telah tiba. Aku, dan Sesil kakak perempuanku. Usia ku berbeda lima tahun dari Kak Sesil. Berlibur ke rumah Nenek. Mereka menyambutnya dengan gembira. Kakek sangat senang jika cucu atau anak-anaknya mau berkunjung kerumahnya. Karena mereka hanya tinggal berdua, mereka kesepian. Untuk menutupi rasa sepi itu, Kakek membuat kegiatan berternak unggas.

Kami sangat menyukai masakan Nenek. Menurutku, makanan yang paling enak adalah masakan Nenek. Belum ada yang bisa menandingi masakan Nenekku. Hingga Ibuku pun yang terus belajar bagaimana bisa memasak seperti Nenek. Kata Nenek, memasak itu adalah seni dan cinta. Seperti halnya kita melukis. Jika kita tidak menyukainya, semuanya seperti coret-coret yang tidak ada nilainya. Tapi, jika kita memiliki rasa seni dan cinta. Pasti kita akan bisa membuatnya. Nenek sangat tahu kalau kami suka makan ayam bakar. Nenek membuatkannya untuk kami.

Sewaktu diperjalanan tadi, Kak Sesil sudah berancang-ancang ingin mengambil pantat ayam duluan. Sebelum Nenek mengetahuinya. Dia juga penasaran, mengapa setiap kali kami ingin makan. Selalu ditegur terlebih dahulu.

Biasanya nenek menyajikan ayam dalam satu piring, tetapi jika kami ingin memulai makan. Ancap kali Nenek memberitahu, kami tidak boleh memakan pantat ayam. Kemudian Nenek langsung mengambilnya. Menaruhnya di piring yang tersendiri dan menjauhkannya dari kami. Begitulah setiap kali kami ingin makan. Nenek selalu mengatakannya berulang-ulang kali.

Aku pernah bertanya kepada Ibu. Kata Ibu, memang tidak seharusnya anak yang belum menikah memakan pantat ayam. Itu pamali. Kata Ibu, itu mempermudah kita cepat pikun. Aku berdiam sambil berpikir, setelah Ibu mengatakan hal demikian. Sepertinya benar juga. Nenek sering memakan pantat ayam, beliau sering melupakan sesuatu yang akan beliau kerjakan.

Di meja makan. Aku memberikan kode kepada Kak Sesil. Bahwa Nenek sedang menanak nasi. Kak Sesil sudah berancang-ancang ingin mengambil pantat ayam itu. Dia ingin tahu, apakah benar jika memakannya menyebabkan pikun. Kak Sisil mencari-cari pantat ayam itu. Tapi hasilnya nihil. Ternyata Nenek lebih pintar. Nenek menyembunyikannya terlebih dahulu. Nenek curang.

Nenek datang tiba-tiba dari dalam dapur.

“Kamu mencari apa, Sil?”

Kak Sisil gugup. Dia seperti menjadi seseorang yang tersangka, dengan posisi badan naik di atas kursi dan duduk di atas meja sambil mengaduk-aduk opor ayam bikinan Nenek.

Kak Sesil tersenyum. Aku melihatnya tertawa di sudut sana. Wajah Kak Sesil sungguh lucu jika dia sedang gugup ataupun takut. Kak Sesil segera turun dari meja makan dan mengejarku.

Kak Sesil agak kesal, karena dia masih belum bisa memecahkan rahasia pantat ayam punya Nenek. Ada apa gerangan dengan pantat ayam.

Tapi sekarang, kami jarang sekali pergi ke tempat Nenek. Semenjak beliau sudah tiada. Terkadang jika musim libur telah tiba, aku merasa rindu dengan rumah Kakek dan Nenek. Aku paling suka mandi di air pancuran yang terletak dibelakang rumah Nenek. Airnya begitu segar, dingin. Aku tidak pernah kepanasan seperti saat ini. Udaranya masih bersih, sejuk. Pohon-pohon menutupi jalan-jalan, membuat semuanya menjadi rindang dan terasa nyaman.

Teringat masa laluku, tentang pantat ayam. Aku bergegas keluar dari kamar dan menghampiri Ibu, Ayah dan Kak Sesil yang sedang menonton televisi. Aku mendekati Ibu.

“Bu, bolehkah aku bertanya?”

Ibu tersenyum. Heran. “Bertanya apa??”

“Kenapa kita tidak boleh memakan pantat ayam??”

Ibu dan Ayah juga tertawa. Kak Sesil membelaku. Dia juga sampai saat ini masih penasaran. Dia juga memboyong pertanyaan kepada Ibu.

“Kenapa, Bu?” ulang Kak Sesil

Ibu mengambil remote televisi dan mengecilkan suaranya terlebih dahulu.

“Kalian ingin tahu?”

Kami berdua mengangguk. Semoga saja kali ini Ibu mau memberitahukan cerita yang sebenarnya. Ayah masih tertawa melihat tingkah kami yang begitu serasi.

“Aku masih belum mengerti, Bu”

Ibu memeluk bantal yang ada disampingnya.

“Kalian berdua tahu, untuk mengunyah makanan saja Nenek sudah tidak mampu lagi. Sebagian giginya sudah lepas karena faktor usia”

“Lalu?”

“Karena Nenek tidak mau keduluan kalian memakannya. Makanya Nenek melarang kalian untuk mengambilnya” kata Ayah ikut memberikan penjelasan.

Aku dan Kak Sesil hanya melongo saja. O, ternyata begitu ceritanya. Bukan karena pamali melainkan pantat ayam itu sudah menjadi incaran sejak lama.
***

You May Also Like

7 comments

  1. bahhhh berabut burit hayam...wakakkakaka

    BalasHapus
  2. Pertamax......

    aq juga suka pantat ayam.. krna gurih.... hihi...


    nice story.... :)

    BalasHapus
  3. zaman dulu klo segala masalah atau kata pepatah pantang menolak dan tanpa dicerna semuanya langsung angguk kepala tanpa pemikiran lebih lanjut apa maksud dan tujuan yang ada, beda dengan zaman sekarang segalanya harus jelas maksud tujuannya. tidak langsung diterima begitu saja dan harus masuk logika segalanya dipertanyakan knapa dan untuk apa, terkadang zaman dulu orang tua tidak pernah menterjemahkan dengan pepatahnya jadi semuanya buram entah benar atau tidak yang jelas sampai sekarang masih berlaku. Tapi intinya mungkin untuk kebaikan dan kelancaran dalam hidup agar segalanya selalu terisi dengan prilaku yang umum dan tidak merugikan diri sendiri dan mengganggu orang lain.. :)...

    BalasHapus
  4. Cerita sederhana, tetapi teknik menahan suspen membuat cerita ini jadi luar biasa. bagus sekali!

    BalasHapus
  5. Pantat memang lembut, dan wajar jadi rebutan. wkwkwkwkwk (omes)

    BalasHapus
  6. hahaha....menarik ceritanya,dulu juga saya penasaran dengan dongen anak kecil di larang makan pantat ayam akhirnya sekarang sudah dapat jawabannya..haha..

    admin blog ini berasa dari mana ?
    salam kenal ya.

    BalasHapus

Hallooo, terima kasih sudah membaca tulisan saya,
jika berkenan silahkan jejak digital teman disini.
Tinggalkan lah, rekam jejak yang menyenangkan tanpa ada unsur SARA.
Salam Budaya, ^,^

POPULAR POSTS